Meretas Mimpi di Kala Pandemi
Oleh: Annida Zahra
Kosong. Begitulah
tatapanku ketika memandang langit-langit kamar. Ketakutan dihatiku semakin hari
semakin jelas rasanya. Rasa khawatir seakan menjadi temanku semenjak angka
kasus kematian akibat virus korona semakin melonjak. Keputusan untuk
pembelajaran dari rumah pun tak bisa dielakkan. Bagaimana bisa aku mewujudkan
mimpiku untuk berkuliah di perguruan tinggi impianku, jika pembelajaran pun
tidak efektif seperti ini. Padahal di awal virus ini muncul, aku melarang
diriku untuk mengeluh, karena aku merasa ada yang lebih sulit dariku. Tetapi,
lama kelamaan rasanya aku sudah tidak lagi punya kekuatan untuk diriku sendiri.
Semua pikiran negatif selalu berkecamuk di kepalaku. Aku memikirkan segala
kemungkinan buruk yang belum tentu terjadi dikemudian waktu.
Untuk mengisi
kesunyian malam, aku beranjak dari tempat tidur untuk memutar koleksi piringan
hitam yang berada di rak khusus. Lagu bergenre ballad pun mengalun
memenuhi ruang tidurku. Aku baru ingat guruku pernah memberitahu tentang
beasiswa untuk berkuliah di luar negeri, langsung saja aku membuka laptop dan
mendaftarkan diriku. Aku sangat tidak yakin akan
lolos seleksi masuk universitas di Jepang yang amat ketat saingannya. Setelah
selesai, aku langsung menutup laptop dan pergi menuju sofa di ujung kamar. Ketika
baru saja hendak beranjak untuk duduk di sofa kamar, tiba-tiba ada yang
mengetuk pintu kamarku. Spontan saja aku berbalik arah untuk melihat siapa yang
masuk.
Pintu berderit
ketika ada seseorang yang membuka pintu.
“Oh, ternyata Mama. Ada apa Ma? Kok tumben
malam-malam ke kamar Aletta?” tanyaku dengan penasaran. Mama berjalan ke sofa
tanpa menghiraukan pertanyaan yang aku lontarkan.
“Sini,
Nak, duduk di samping Mama,” Ucap Mama sambil menepuk-nepuk sofa yang berada di sampingnya.
“Iya,
Ma,” sahutku dan bersegera duduk di samping Mama.
Raut wajah Mama begitu menampakkan rasa sedih. “Let,
seperti yang sudah kamu ketahui, sekarang sedang berlangsung pandemi virus
korona,” ucap Mama, “pasti kamu tahu juga
kalau banyak karyawan banyak yang dipecat oleh perusahaan.” Aku masih tidak
mengerti apa maksud Mama membicarakan hal
tersebut.
“A-Ayah kamu
terkena PHK besar-besaran juga di perusahaannya bekerja, Let,” kata Mama dengan sedikit terbata. Aku hanya mematung
saat mencerna perkataan Mama.
Sendi-sendiku lemas seketika. Aku hanya menunduk tanpa menanggapi perkataan Mama. Air mataku tiba-tiba jatuh tanpa permisi.
“Jadi, Mama harap kamu mengerti, Let. Keadaan seperti
ini memang tidak bisa dihindari. Mama juga berharap kamu bisa membantu
perekonomian keluarga ini dengan membantu Mama
berjualan.”
Aku berpikir
sejenak, tanganku sibuk memainkan ujung baju tidurku. “Ma, memangnya mama tidak
ingat tentang keinginanku untuk berkuliah di Universitas Indonesia?” Aku berbicara
sambil terisak.
“Mama ingat, Let.
Mama menyarankan agar mimpimu itu ditunda setahun. Ingat kondisi perekonomian
keluargamu sedang tidak stabil. Kamu juga pasti tahu, kuliah itu tidak membutuhkan
dana yang sedikit.”
Aku menghela napas,
ucapan Mama memang ada benarnya. Mau
tidak mau aku harus menunda impianku. Mungkin ini menjadi jalan agar aku bisa
belajar hidup mandiri. Memang tidak mudah, tapi aku yakin bisa melewati semua
musibah ini. Mendapat musibah itu pasti tidak
enak. Mau ditambah garam, penyedap, kecap, dan sebagainya, ya tetap saja
rasanya sama.
Setelah
beberapa menit yang terasa sangat lambat, akhirnya aku pun berbicara.
“Oke
Ma, Aletta akan menyanggupi permintaan Mama.”
Mama
tersentak mendengarnya, tangannya spontan melebar, bersiap untuk mendekapku.
“Sudah Mama duga, kamu akan mengerti, Let. Mama yakin kamu pasti bisa
menjalaninya.”
Aku
lihat mata Mama berkaca-kaca, aku segera membalas pelukannya. Mama tidak
langsung melepasku. Pelukannya hangat, telapak tangannya mengusap punggungku
dengan lembut. Samar-samar, aku bisa mencium aroma cologne Mama yang
manis, semanis kasih sayang Mama kepadaku.
“Aku
akan berusaha agar keluargaku bangga denganku,” gumamku dalam hati.
***
Malam
berpamitan pulang. Pagi pun siap menggantikan tugasnya malam.
Cahaya matahari perlahan menyelinap masuk memenuhi sudut-sudut
kamar. Tebalnya gorden nyatanya tak bisa menghalangi cahaya yang masuk ke
dalam ruangan. Nampaknya bukan matahari saja yang menyadarkanku dari alam
mimpi, alarm yang sangat berisik di samping bantalku pun turut serta. Aku
mengecek telepon genggamku dan membalas semua pesan yang tak sempat aku balas
kemarin. Lalu, aku segera bersiap untuk pembelajaran daring hari ini.
Bosan.
Satu kata yang mewakili perasaanku ketika kembali bertatapan dengan laptop.
Sejujurnya, aku kurang mengerti dengan materi yang diberikan lewat google
classroom ini. Nilaiku pun turun drastis ketika ujian akhir semester
kemarin, tetapi aku bersyukur masih bisa bertahan diperingkat satu. Aku juga
sering merasa agak jengkel karena tugas yang
diberikan sangatlah membingungkan, guruku tidak menerangkan dan langsung
memberikan pertanyaan. Sering kali secara tidak langsung aku berpikir aku tidak
bisa mengerjakan tugas dengan baik. Kembali aku merasa menjadi orang yang
paling tersiksa dan menyalahkan virus yang menyebalkan itu. Aku akui itulah
sisi jelek yang kumiliki, aku tidak bisa menjadi orang yang optimis. Sering kali
aku mengutuk virus korona, dengan kata
lain aku belum bisa berdamai dengan keadaan yang dirusak oleh makhluk kecil
itu.
“Let, Aletta kamu di mana?” Mama memanggil-manggil
membuyarkan lamunanku.
“Ada apa, Ma. Aletta di kamar sedang
mengerjakan tugas,” aku menjawab pertanyaan Mama.
Cklek! Pintu terbuka dengan
menampilkan Mama yang sedang memakai celemek kotor.
“Let, nanti jangan lupa antarkan
pesanan mamanya Carlie di komplek sebelah, ya?” pinta Mama.
“Carlie temanku itu Ma? Temanku
sekolah, kan?” aku bertanya untuk memastikan.
“Iya, temanmu yang pernah datang
kesini itu,” Ujar Mama.
“Oke Ma, habis zuhur aku langsung
berangkat ke sana,” Aku berkata sembari menampilkan senyum termanisku.
Mama membalas senyumku dengan acungan
jempol. Mama langsung kembali lagi ke dapur. Aku mempercepat gerak tanganku
ketika menulis tugas untuk mempersingkat waktu.
“Huft, akhirnya selesai juga,” kataku
sembari menutup laptop dan buku kemudian bersiap untuk mengantar barang
dagangan Mama.
Aku menuruni tangga dengan hati-hati.
Saat turun, aku melihat Ayah yang sedang merenung. Hatiku hancur dan tersayat
saat melihat wajah tua Ayah yang begitu lesu. Aku memutuskan untuk langsung ke
dapur tanpa menyapa Ayah di ruang tamu.
“Ma, mana barang dagangan yang akan
harus kuantar?” tanyaku kepada Mama.
Mama menoleh ke arahku sebentar lalu
berjalan menuju meja makan.
“Ini, hati-hati ya bawanya, nanti
tumpah makanannya.” Sahut Mama seraya menyodorkanku sebuah plastik berisi
makanan yang masih hangat.
Mama tersenyum dan memberiku sebotol hand
sanitizer “Jangan lupa nih, hand sanitizermu. Masker juga jangan
lupa dipakai,” perintah mama mengingatkan. Aku hanya mengangguk, lalu pergi
meninggalkan Mama di dapur menuju garasi untuk mengambil sepedaku.
Terik
matahari yang menembus atmosfer seakan-akan mencekam tubuhku. Peluh pun mulai
membasahi dahiku. Nafasku sangat berat, ditambah lagi memakai masker yang tebal
seperti ini.
“Huh,
menyusahkan sekali harus memakai masker seperti ini setiap keluar rumah, ini
semua gara-gara si virus menyebalkan,” gumamku sambil menyalahkan virus kecil
yang bernama korona.
Mama
berkata bahwa rumah Carlie itu nomor 67. Aku mengedarkan pandanganku ke segala
penjuru jalanan komplek. Ada sebuah bangunan yang menurutku menarik. Arsitekturnya
sedikit tua, tetapi sangat elegan dibandingkan rumah-rumah di sekitarnya. Tanpa
berlama-lama aku langsung menghampiri rumah tersebut dan melihat nomor
rumahnya.
“Benar, ini rumah nomor 67,” gumamku.
Belum sempat aku mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka dengan menampilkan seorang
wanita yang masih muda dengan pakaian kasual berwarna abu-abu.
“Eh ada Aletta, sini masuk,” ternyata
itu adalah Carlie temanku. Aku mengikuti langkah Carlie dari belakang.
“Sini Let, duduk dulu,” ajak Carlie
aku mengiyakan seraya duduk di hadapannya.
“Kamu sudah daftar tes masuk universitas,
Let? Tanya Carlie dengan rasa penasaran.
“ Belum nih, Car. Kayanya aku akan gapyear
deh,” jelasku dengan suara pelan.
“Loh, kenapa deh? Kamu kan punya mimpi
untuk berkuliah di Universitas Indonesia?” Carlie terus bertanya. Wajahnya
menampilkan rasa keterkejutan.
“Iya, Car. Perekonomian keluargaku
sedang tidak stabil. Ayahku baru saja diPHK oleh perusahaan tempatnya bekerja
karena korona,” jelasku lagi dengan sedikit terisak.
Carlie mencoba menenangkanku. “Let,
kamu kan bisa daftar program bidik misi. Untuk masalah biaya tes, aku bisa
bayarin kamu sekalian kok, kebetulan aku lagi ada rezeki berlebih,” saran
Carlie tulus.
Aku sedikit lega dan sangat bersyukur mendengarnya.
“Terima kasih Car, kamu baik banget.
Kira-kira jadwal tesnya itu kapan ya?” Aku bertanya kepada Carlie karena dia
lebih mengetahui mengenai hal tersebut.
“Dua hari lagi, Let. Jangan lupa untuk
menyiapkan persyaratannya,” kata Carlie.
“Siap, Car. Aku pamit dulu ya!” baru
saja aku bangun dari sofa, tiba-tiba Carlie menahanku.
“Aletta,
kamu mau gak ikut aku ke mall? Kan sekarang sudah memasuki era new normal.”
Carlie mengajakku dengan sangat antusias.
“Hmm,
maaf Car. Aku bukannya tidak mau. New normal memang sudah diberlakukan, tapi
kan pemerintah tidak menganjurkan berkumpul di tempat umum seperti itu,” sanggahku
sopan. Aku berkata demikian karena baru saja melihat berita dimana Pak Joko
Widodo berpidato masalah new normal. “Yah
Car, kalau kamu mengikuti sisi negatif virus korona gak akan ada habisnya. Kamu
akan ketinggalan zaman alias gak update karena di rumah terus.” Carlie
berkata sambil terkekeh. Aku hanya
menanggapi dengan senyuman. Aku memang sangat membenci virus tersebut, tetapi
tetap saja aku harus mematuhi peraturan pemerintah yang telah berusaha keras
membasminya. Tidak ikut berkumpul adalah keputusan terbaik yang aku ambil.
***
Matahari sudah tumbang di kaki langit.
Langit jingga sejauh mata memandang. Burung camar terbang melengking, ikut menghiasi
langit kala itu. Azan magrib pun mulai berkumandang. Aku memutuskan untuk
menutup jendela kamarku. Hari ini hari libur, bertepatan dengan pengumuman
kelulusan tes masuk universitas. Aku sangat tidak sabar melihat pengumumannya. Aku meminum segelas cokelat untuk menenangkan
pikiranku. Sofa menjadi tempat ternyamanku. Aku merebahkan tubuhku di atasnya
sambil menengadahkan kepalaku ke langit-langit kamar. “Semoga kabar baik akan datang,”
harapku.
Telepon genggamku berdering. Ternyata ada pesan masuk
dari Carlie. Tumben sekali Carlie mengirimiku pesan. Aku segera membaca pesan
Carlie dengan perlahan. Ketika membaca pesan Carlie, aku langsung terduduk
lemas dan terisak. Aku yang sudah belajar mati-matian ini tidak diterima di
Universitas Indonesia. Aku merasa duniaku terhenti. Pintu kamarku terbuka
begitu saja. Tiba-tiba mama masuk dan langsung memelukku. Mama mendengar isakan
tangisku dari balik pintu.
“Kamu
kenapa, Let?” tanya Mama khawatir.
“Ma,
aku gagal berkuliah di universitas impianku,” ungkapku sambil menangis.
“Yang
sabar ya, Let. Kamu masih bisa berjuang tahun depan,” ujar Mama menenangkan.
Aku mengangguk dan mengelap air mataku.
“Let,
sebenarnya mama kesini karena ingin memberitahumu sesuatu,” Mama melanjutkan
dengan mata yang sudah berair, “Ayahmu positif korona, Let.”
Hatiku
hancur sekali mendengarnya. Jauh di lubuk hatiku, aku ingin marah, menangis, dan menjerit. Aku menangis
sambil terus mengutuki keberadaan virus tersebut di dunia ini. Virus itu sangat
amat membawa sial dihidupku. Mulai dari Ayahku diPHK atau dipecat, lalu aku yang
tidak lulus tes karena sekolah daring. Sekarang hal yang paling aku takutkan
terjadi, yaitu Ayah terkena dan terpapar virus tersebut.
Mama
langsung menenangkanku, beliau menasihatiku agar tidak terus menyalahkan keadaan.
Mama berkata bahwa wabah korona merupakan ujian, teguran, sekaligus rahmat dari
Tuhan agar manusia tetap mengingat kekuasaan-Nya yang tiada berbanding dan
berprasangka baik kepada teguran-Nya.
Aku
langsung terdiam. Perkataan Mama langsung menghujam ke dalam hatiku. Aku
menyadari bahwa aku sering menyalahkan keadaan. Aku baru paham semua ini sudah
ada yang mengatur dan telah diatur dengan baik. Mulai hari ini aku
bertekad tidak akan menyalahkan virus itu lagi. Aku yakin pasti ada hikmah setelah
ini.
***
Langit
mulai membiru. Sang surya pun
mulai menampakkan wajahnya
di ufuk timur. Hari demi hari telah aku
lewati. Aku memulai pagi dengan belajar dan sekolah daring. Hari ini aku antusias sekali dalam
mempelajari karena sekarang aku berpikir dan hidup dalam keterpurukan. Hal itu membuatku
bersemangat kembali. Jika aku menyerah hari ini, belum tentu hari esok lebih
baik. Aku akan menjalani hari ini dengan baik, dengan begitu hari esokku
mungkin lebih baik.
Setelah
melakukan pembelajaran daring hari ini, seperti biasa aku akan turun ke bawah
untuk mengantar dagangan Mama. Tapi ternyata hari ini Mama libur berjualan. Aku
memutuskan untuk beranjak ke ruang keluarga, lalu duduk di sofa. Baru saja
duduk, tiba-tiba dering telepon genggam yang berkepanjangan membuatku terbangun
dari sofa. Terpaksa aku menyeret sepasang kaki yang lemas ini untuk menggapai telepon
itu di atas meja.
“Aletta selamat ya, kamu keren
banget!”
Kurang lebih seperti itu isi pesan dari
semua sosial mediaku, pantas saja telepon genggamku sangat berisik. Aku heran,
alasan apa yang mendasari teman-temanku mengucapkan selamat. Lalu, aku
memutuskan untuk membuka gmail yang kebetulan muncul di notifikasiku.
Aku membaca pesan tersebut dengan mata yang tak berkedip. Jantungku terasa
berhenti berdetak. Aku mengerjapkan mataku berulang kali, memastikan bahwa ini
bukanlah mimpi. Tanpa kusadari aku berteriak saking senangnya. Ternyata aku lolos
program beasiswa ke Jepang.
Ditengah-tengah
kebahagiaanku, tiba-tiba Ayah pulang dari rumah sakit dan terlihat sangat bahagia.
Tanpa diminta, Ayah langsung bercerita di ruang keluarga.
"Ayah
sudah swab test tadi, dan hasilnya negatif. Ayah juga sudah mendapatkan
pekerjaan, tetapi pekerjaannya hanya sopir taksi, gajinya pun cukup untuk
kehidupan kita." Senyum hangat menghiasi wajah tuanya.
Aku
dan Mama sangat gembira mendengarnya. "Syukurlah, ayah sudah dapat
pekerjaan saja Mama sudah senang."
Mama
beralih menatapku sembari menautkan alisnya. “Let, tadi kenapa kamu berteriak
seperti itu?” tanya Mama heran. Aku sedikit malu, ternyata teriakanku terdengar
sampai dapur.
“Ma,
Yah, tau nggak? aku lolos beasiswa di universitas yang di Jepang!” pekikku
bersemangat. Sontak saja Mama dan Ayah ikut berteriak antusias. Mereka terlihat
sangat bangga kepadaku.
“Melawan nasib itu bukan berarti kita
tidak menerima nasib. Kita memang disuruh untuk menerima takdir. Pandemi ini
contohnya. Jangan karena pandemi, lalu kita bertopang dagu dan selalu
menyalahkan keadaan.” Ayah menasihatiku dengan lembut.
Aku melewati masa-masa sulit saat
pandemi dan banyak hikmah yang kudapat.
Awal keberhasilan telah berhasil kugenggam. Memang benar, berdamai dengan
keadaan adalah jalan yang terbaik. Berdamai dengan virus korona contohnya. Buktinya,
aku mendapat banyak kebahagiaan setelah aku mulai menerima keadaan. Aku harap
pandemi ini segera usai dan dunia kembali normal dan baik-baik saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar